Facebook Tag Pixel

Branding Misperception

Oleh: Dr. Sandy Wahyudi DSW

 

Di harian Kompas saya baca bahwa pemerintah China pernah melakukan survei untuk mengetahui kira-kira apa sih persepsi masyarakat Indonesia terhadap China. Survei dilakukan tentunya dengan teknik sampling yang proporsional untuk mewakili seluruh segmen, budaya, dan wilayah geografis di Indonesia.

Ternyata hasilnya cukup unik, bahwa 84% orang Indonesia masih mempersepsikan negara adidaya yang sekarang nomor satu di dunia itu sebagai negara tempat berobat dan negara asal obat-obatan tradisional saja. Bukan salah mereka yang disurvei, melainkan memang pemerintah China selama ini lalai akan tugas utamanya, yakni melakukan nation branding  sedemikian rupa tidak terjadi branding misperception bagi masyarakat di negara lain.

33d378d

Hasil temuan riset ini menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah China agar bisa membranding negaranya jauh lebih baik ke depannya, bahwa diperlukan upaya yang terintegrasi antara pemerintah pusat dan kedutaan-kedutaan besar yang ada di negara-negara sahabat lainnya.

Kalau memang dulu negeri China adalah negeri yang sangat tertutup dan menganut paham komunis, namun sekarang lebih terbuka dan bahkan lebih liberal ketimbang negara yang menganut paham demokratis. Kalau dulu China memang maju di bidang pengobatan, sekarang jauh lebih maju di bidang teknologi, tidak kalah dengan Amerika, bahkan banyak profesor Amerika yang di-hijack untuk bekerja di sana.

Kisah negeri tirai bambu ini hanya sebuah analogi untuk bisnis kita, bahwa branding misperception bisa terjadi apabila kita tidak mengantisipasinya.

Kenapa branding misperception terjadi?

Branding misperception terjadi karena tujuan branding yang kita lakukan saat ini tidak sama lagi dengan tujuan awal kita membranding produk atau perusahaan di masa lalu, sehingga masih banyak masyarakat yang lebih mengingat siapa diri kita dulu ketimbang yang sekarang.

Bagaimana caranya agar tidak terjadi branding misperception?

Setidaknya ada 3 strategi yang bisa dicoba agar upaya re-branding Anda berdampak luar biasa dan tidak mengakibatkan branding misperception:

True and false check boxes written on a blackboard.

Pertama, Democratization Strategy, yaitu strategi branding yang mampu membuat masyarakat merasakan bahwa mereka juga adalah salah satu bagian dari branding itu. Contoh strategi branding ini dilakukan oleh fashion company besutan Daniel Mananta, Damn I Love Indonesia! Ajakan untuk kembali mencintai produk buatan dalam negeri.

Kedua,  Classic Strategy, yaitu strategi klasik untuk memposisikan diri bahwa perusahaan kita tidak kalah bersaing dengan perusahaan lain yang lebih exist duluan. Contoh strategi branding ini dilakukan oleh Samsung, yang dulunya hanya dikenal sebagai pabrik pembuat peralatan elektronik rumah tangga saja, mereka memposisikan diri sedemikian rupa bahwa teknologi yang mereka gunakan tidak kalah bersaing dengan Apple untuk produk-produk Gadget-nya.

Ketiga, adalah Empathic Strategy, adalah strategi branding yang mengajak masyarakat berpikir kembali dengan common sense point of view  mereka, apakah memang sudah pas atau belum komunikasi branding yang dilakukan oleh kompetitor, khususnya brand leader. Contoh strategi branding ini dilakukan oleh Bintang Toedjoe, bahwa bukan orang pintar saja yang bisa memilih obat mana yang bisa sembuhkan mereka, tapi orang yang bejo atau beruntung juga bisa melakukannya. Bahkan kampanye mereka yang terakhir dengan gamblang mengatakan “Bejo lebih untung dari pintar”.

Itulah ketiga strategi branding untuk menepis branding misperception, yaitu democratization strategy, classic strategy, dan empathic strategy.

Only Marketing can drive Innovation!

DSW

Share Via:

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn
Banner Vertical 600x840 Podcast

Artikel Lainnya:

12Cs Marketing Strategy for Family Business

Meningkatkan Kualitas Layanan: Menuju Kepuasan Pelanggan yang Berkesan

Menjadi SPESIALIS atau GENERALIS?