CORPORATE REPUTATION & EMPLOYEE RESPONSIBILITY
Pendahuluan
Sejauh mana suatu organisasi atau perusahaan memandang perlunya manajemen citra dan reputasi? Pertanyaan ini perlu dimunculkan, karena saat ini perilaku masyarakat banyak mengalami perubahan. Publik dapat dengan cepat mencermati dan menganalisa lingkungan yang ada di sekitarnya. Publik dapat melakukan pemantauan terhadap sepak terjang sebuah perusahaan dengan cepat melalui dunia online. Hal ini menyebabkan tuntutan untuk terus menjaga citra baik perusahaan menjadi sesuatu yang mendesak. Citra positif dari suatu perusahaan akan mempunyai dampak yang menguntungkan secara marketing. Citra merupakan aset perusahaan yang tidak mudah ditiru kompetitor, karena citra merupakan suatu dampak persepsi publik atas komunikasi pemasaran dan kondisi internal yang ada dalam sebuah organisasi. Bayangkan bila sebuah perusahaan mengatakan kepada para customer bahwa mereka sangat peduli akan lingkungan dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan, padahal mereka membuang limbah secara sembarangan, terlebih para karyawan tidak diperlakukan dengan manusiawi, sedemikian citra yang dibangun dapat dengan cepat rusak bila ada pelanggan yang mengetahui hal ini, atau salah satu karyawan yang “sakit hati” membocorkan rahasia ini di publik.
Reputasi adalah tujuan, sekaligus merupakan prestasi yang hendak dicapai oleh setiap perusahaan. Bagi perusahaan, reputasi adalah titipan kepercayaan dari masyarakat. Jadi jika perusahaan mengalami krisis kepercayaan dari publik maka akan membawa dampak negatif terhadap reputasi dan akan memerlukan usaha keras untuk menumbuhkan dan membangun kembali kepercayaan. Contohnya kasus Angkasa Pura yang mengalami pemadaman listrik beberapa kali di bandara Soekarno Hatta, membuat perusahaan mengalami krisis kepercayaan. Namun, seberapa jauh kesadaran untuk mengelola citra yang menguntungkan perusahaan? Boleh dikatakan setiap perusahaan memiliki tugas untuk ‘memanajemeni persepsi’ publik agar mengarah kepada citra yang diinginkan atau diharapkan (wished image) melalui strategi yang tepat dan aktivitas komunikasi yang efektif. Inilah yang kadang-kadang menyesatkan. Seolah-olah tugas seorang public relation / corporate communication adalah memoles wajah perusahaan agar terlihat cantik, membedaki tebal-tebal wajah yang bopeng agar tidak kentara, dan tugas memelihara citra perusahaan adalah semata-mata tugas mereka belaka. Padahal tugas untuk memelihara citra perusahaan harus dilakukan oleh segenap anggota organisasi secara lintas fungsional, dan harus dilakukan secara terus menerus. Harus ada sebuah sistem yang eksis untuk menopang citra perusahaan.
MANAJEMEN REPUTASI PERUSAHAAN
Para pengelola bisnis seharusnya bersikap profesional untuk memberikan yangterbaik buat kepentingan para stakeholder.Seorang pendiri bisnis pasti bermaksud untuk mendapatkan keuntungansemaksimal mungkin buat dirinya. Keuntungan yang maksimal ini sangattergantung dari loyalitas stakeholder kepada perusahaan. Khususnya,pelanggan, pemasok, dan karyawan. Keberadaan stakeholder merupakan bagian dari mata rantai bisnis yang hadirdengan beragam misi, target, dan kepentingan. Dan untuk melayani semua kepentingan yang berbeda tersebut, para pengelola bisnis wajib menjalankan praktik bisnis berdasarkan etika bisnis yang berintegritas. Persoalan muncul pada saat pengelola bisnis memprioritaskan keinginan dan tujuan dari para pemegang saham mayoritas. Mengingat kekuatan pemegang saham mayoritas sangat kuat untuk memberi perintah pada manajemen secara langsung, sedangkan stakeholder di luar shareholder adalah kepentingan yang tidak dapat langsung memiliki pengaruh pada manajemen.
Keberadaan stakeholder merupakan bagian dari mata rantai bisnis yang hadir dengan beragam misi, target, dan kepentingan. Dan untuk melayani semua kepentingan yang berbeda tersebut, para pengelola bisnis wajib menjalankan praktik bisnis berdasarkan etika bisnis yang berintegritas. Persoalan muncul pada saat pengelola bisnis memprioritaskan keinginan dan tujuan dari para pemegang saham mayoritas. Mengingat kekuatan pemegang saham mayoritas sangat kuat untuk memberi perintah pada manajemen secara langsung, sedangkan stakeholder di luar shareholder adalah kepentingan yang tidak dapat langsung memiliki pengaruh pada manajemen.
Kita dapat memiliki rencana bisnis yang luar biasa. Kita dapat memiliki produk yang luar biasa. Kita bahkan dapat memiliki pekerja yang terbaik dan kompeten di bidangnya masing-masing, tetapi jika kita tidak memiliki rencana manajemen reputasi perusahaan yang baik saat ini, maka semuanya tidak ada artinya.Salah satu bagian yang paling penting dari setiap bisnis adalah citra merek. Bagaimana orang lain memandangnya – positif atau negatif? Lebih dari itu, jika kita memiliki bisnis sendiri, kita harus bertanya seberapa besar kontrol yang benar-benar kita miliki terhadap bisnis tersebut. Mungkin kedengarannya seperti sebuah pernyataan yang aneh, tetapi sangat penting untuk menyadari kekuatan-kekuatan eksternal yang sangat berpengaruhuntuk kemajuan suatu bisnis. Hubungan bisnis yang tidak beretika biasanya cendrung merugikan parastakeholder yang posisi tawarnya lemah di bisnis tersebut. Hal ini disebabkan,para profesional yang mengelola bisnis tersebut tidak memiliki integritas danniat baik pada stakeholder secara keseluruhan. Pada dasarnya setiap stakeholder memiliki kebutuhan yang berbedah, kecualidalam hal pelayanan, di mana semua stakeholder memiliki kebutuhan yangsama, yaitu mengharapkan mereka dilayani secara jujur, terbuka, penuhtanggung jawab, wajar, berkualitas, dan adil.
Adapun stakeholder yang kita kenal;
Stakeholder Eksternal
Stakeholder ekternal adalah individu yang berada di luar perusahaan dan memiliki sesuatu untuk diraih dan dirawat sebagai hasil dari penggunaan produk atau jasa atau yang memiliki hubungan dengan perusahaan tersebut. Mereka adalah para supplier, masyarakat, pemerintah, para kreditur/perbankan, pelanggan, pesaing, pemilik saham (jika perusahaan terbuka Tbk, maka pemilik saham dikategorikan eksternal).
Stakeholder Internal
Stakeholder internal terdiri atas karyawan, pimpinan, dan para pemilik yang masih aktif dalam organisasi bisnis. Stakeholder internal adalah individu atau kelompok yang membantu perusahaan memproduksi produk dan jasa. Mereka dapat ditemui di departemen-departemen, unit-unit, atau divisi yang menyediakan kepentingan manusia atau sumber materi, hasil kinerja atau informasi kritis kepada pelaksanaan aktivitas kinerja atau pengiriman produk dan jasa.
Secara sepintas, ada lima indikator yang dapat dipakai untuk menaksir seberapa kuat reputasi suatu perusahaan.
Aspek pertama, adalah bagaimana pelanggan tetap membeli produk dengan harga yang di-offer oleh perusahaan, bagaimana mereka mau merekomendasikan produk kita ke network yang mereka miliki, dan bagaimana mereka tetap tidak selingkuh ke kompetitor walau perusahaan kita pernah mengalami krisis.
Aspek kedua, adalah bagaimana para investor atau pemilik modal perusahaan (khususnya perusahaan terbuka / Tbk) tetap setia dan tidak menarik modalnya walau adanya isu penurunan harga saham atau kondisi ekonomi makro yang tidak begitu mendukung.
Aspek ketiga yang bisa kita lihat apakah suatu perusahaan memiliki reputasi yang baik atau tidak adalah dengan melihat para karyawan yang bekerja di dalam perusahaan. Bagaimana suasana kerja yang mereka rasakan sedemikian mereka merasa puas bekerja di sana dan terjadi nilai turnover karyawan yang sangat rendah. Apakah banyak para lulusan kuliah / fresh graduate yang tertarik untuk bekerja di sana atau tidak, ini semua bisa menjadi tolok ukur perusahaan berhasil dalam menjaga reputasinya.
Aspek keempat adalah terkait bagaimana media massa tertarik untuk selalu meliputnya sebagai bahan berita untuk para pemirsanya. Semakin sering sebuah media massa mengundang salah satu tokoh founder di dalam perusahaan tersebut untuk sharing knowledge, maka dapat disimpulkan perusahaan tersebut memiliki reputasi yang baik.
Aspek terakhir yang bisa dijadikan indikator apakah perusahaan memiliki reputasi yang baik atau tidak adalah dengan melihat komitmen partner bisnis yang dimiliki perusahaan tersebut selama ini. Apabila seorang partner bisnis ternyata meninggalkan perusahaan tersebut saat mengalami krisis, maka bisa dikatakan bahwa orang tersebut menganggap perusahaan ini belum memiliki reputasi yang baik, karena orang tersebut hanya mau kerjasama untuk keuntungan sesaat saja, bukan untuk sesuatu yang diharapkan jangka panjang olehnya, yaitu orang itu belum terlalu percaya bahwa perusahaan rekanan kerjasamanya ini akan menjadi besar dan kuat nantinya.
Saat keadaan ekonomi memaksa perusahaan untuk berubah, tidak sedikit perusahaan dalam mengelola reputasinya hanya dengan perubahan yang sifatnya hanya menyentuh kulit. Perubahan kosmetis seperti penggantian logo semata tidak akan berarti banyak. Pengelolaan reputasi, apalagi bagi perusahaan yang baru saja mengalami krisis, membutuhkan perubahan yang fundamental dalam satu proses yang terintegrasi. Tidak lain, karena reputasi bukanlah sekedar masalah kepercayaan diri tetapi menyangkut jalinan yang didasarkan atas kepercayaan (trust) dan integritas. Reputasi yang kuat dibangun dari tindakan operasional sehari-hari yang konsisten dengan tata nilai perusahaan, tidak cukup satu gebrakan saja. Diperlukan segmentasi dan penentuan skala prioritas untuk membidik khalayak yang secara kritis mempunyai dampak yang tinggi (high impact), misalnya influencer yang dapat merubah opini. Untuk menjembatani perusahaan dengan khalayaknya baik dalam masa krisis maupun masa ’damai’ tentu saja dibutuhkan komunikasi yang proaktif dan terencana dengan baik.
Pengelolaan reputasi yang efektif tidak bisa dilepaskan dari peran bisnis perusahaan dalam menangkap peluang pasar (ofensif) dan menanggulangi ancaman (defensif) atas posisi pesaing yang akan dijadikan tolok ukur / benchmark. Strategi komunikasi corporate reputation yang ofensif bisa diterapkan saat hendak launching produk baru, melakukan akuisisi atau merubah model bisnis. Dengan demikian, reputasi menjadi bagian dari karakter, budaya, dan DNA perusahaan. Perlu ditekankan kembali bahwa reputasi ini harus direfleksikan dalam kegiatan operasional sehari-hari. Tidak boleh dilupakan, karyawanlah yang dalam prakteknya berperan sebagai duta yang akan mempengaruhi reputasi perusahaan. Sedangkan untuk komunikasi dengan gaya defensif sebaiknya jangan dilakukan, karena publik akan cepat mengetahui bahwa reputasi perusahaan yang dibangun dengan cara komunikasi “tidak mau mengakui kesalahan dan minta maaf, melainkan menyalahkan pihak lain” malah akan menjadi bumerang sedemikian menurunkan citra perusahaan. Pesan yang ingin disampaikan perusahan haruslah sesuai dengan budaya komunitas stakeholder yang disasar, sedemikian rupa sehingga lebih dari sekedar dapat diterima tetapi betul-betul menarik, menggugah, dan dapat menjadi ’mantra’. Untuk itu, pesan komunikasi akan corporate reputation harus dikemas secara unik dan disampaikan secara konsisten kepada khalayak yang tepat. Outreach yang baik dengan melibatkan media berpengaruh jelas sangat penting artinya untuk penyampaian pesan. Demikian halnya dengan program-program yang berkenaan dengan corporate social responsibility dan sponsorship yang sifatnya strategis. Pembentukan citra yang positif dengan iklan juga akan mampu meningkatkan reputasi perusahaan.
Pengelolaan reputasi merupakan tanggung jawab bersama, tidak cukup hanya dibebankan pada bagian public relation atau bahkan pimpinan perusahaan semata. Sebaliknya, tanpa dukungan dari manajemen puncak, pengelolaan reputasi cenderung akan berjalan di tempat. Masing-masing pihak dituntut untuk tidak hanya sadar atau percaya terhadap proses pengelolaan reputasi, tetapi juga berkomitmen untuk secara konsisten mewujudkannya. Untuk itu harus ada konsensus antara manajemen dan karyawan dalam tata nilai utama / core valuesseperti Visi-Misi dan tujuan perusahaan. Meskipun demikian, perlu diorganisasikan dengan jelas antara pengelolaan reputasi perusahaan dan pengelolaan reputasi produk yang selama ini dipasarkan. Masing-masing mempunyai porsi dan penanggung jawab sendiri-sendiri dan diatur sedemikian rupa agar tidak saling berbenturan sehingga tidak kontra produktif.
Pengelolaan reputasi yang efektif tidak bisa dilepaskan dari peran bisnis perusahaan dalam menangkap peluang pasar (ofensif) dan menanggulangi ancaman (defensif) atas posisi pesaing yang akan dijadikan tolok ukur / benchmark. Strategi komunikasi corporate reputation yang ofensif bisa diterapkan saat hendak launching produk baru, melakukan akuisisi atau merubah model bisnis. Dengan demikian, reputasi menjadi bagian dari karakter, budaya, dan DNA perusahaan.Perlu ditekankan kembali bahwa reputasi ini harus direfleksikan dalam kegiatan operasional sehari-hari. Tidak boleh dilupakan, karyawanlah yang dalam prakteknya berperan sebagai duta yang akan mempengaruhi reputasi perusahaan. Sedangkan untuk komunikasi dengan gaya defensif sebaiknya jangan dilakukan, karena publik akan cepat mengetahui bahwa reputasi perusahaan yang dibangun dengan cara komunikasi “tidak mau mengakui kesalahan dan minta maaf, melainkan menyalahkan pihak lain” malah akan menjadi bumerang sedemikian menurunkan citra perusahaan.