Facebook Tag Pixel

Customer Mapping Series

Consumer Decision JourneySeeing the World as Customers Do

Strategi memahami cara berpikir calon pelanggan sebelum mereka memutuskan pembelian suatu produk

 

By:

Dr. Sandy Wahyudi (DSW)

Pakar & Praktisi Marketing dan Inovasi

Business Development Director SLC MARKETING, INC.

 

Banyak perusahaan yang melakukan customer mapping dari segi historical data, yaitu dengan cara analisis dari sisi pembelian / transaksi yang sudah terjadi. Hal ini sangat tepat jika tujuannya adalah menciptakan customer loyalty, bagaimana pelanggan yang sudah ada bisa terus membeli dengan beragam promosi yang sifatnya customized, spesifik untuk memenuhi kebutuhan tiap pelanggan. Namun jika tujuannya untuk mendapatkan insight apa yang pertama kali muncul di kepala pelanggan sebelum mereka memutuskan untuk membeli produk untuk pertama kalinya, metode ini kurang tepat.

Analisis consumer decision journey sangat tepat dilakukan jika tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah akuisisi pelanggan baru, khususnya jika perusahaan kita bergerak di segmen pelanggan B2B, atau setidaknya segmen pelanggan B2C yang produknya high involvement, seperti mobil, asuransi, rumah dan produk ritel lainnya yang mana konsumen butuh pertimbangan 2-3 kali sebelum membeli, karena produknya tidak murah.

Whitepaper kali ini akan coba saya angkat tema consumer decision journey, agar kita lebih memahami cara analisis “isi pikiran” pelanggan kita sebelum mereka membeli produk kita. Ada beberapa metode yang bisa coba diterapkan, namun saya akan mengulasnya beberapa saja kali ini.

Kami sendiri sejauh ini menemukan 5 skenario bagaimana perjalanan seorang klien mencari dan mendapatkan kami sebagai konsultan marketing dan inovasi bisnis mereka. Ada yang tahu kami dari radio, lalu mereka ikut seminar, dan akhirnya ambil jasa konsultan kami. Ada pula yang direferensikan oleh klien kami lainnya, dan ternyata itu adalah teman baiknya sendiri, karena sudah percaya dengan testimoninya, maka akhirnya ambi jasa kami. Ada yang semula dari membeli dan membaca buku Stupid Marketing kami yang ada di toko buku Gramedia, lalu kontak dan akhirnya mengambil jasa konsultan kami. Ada juga yang searching langsung di Google, kontak kantor kami dan langsung ambil jasa. Dan adapula tamu walk-in di kantor kami karena melihat banner yang kami pasang di pinggir jalan. Semua skenario di atas adalah yang paling sering terjadi, walaupun sebenarnya masih banyak kombinasi perjalanan pelanggan lain yang bisa dianalisis satu demi satu sebab per pelanggan itu unik dan berbeda jalan berpikirnya. Namun karena pasti tidak mungkin jika kita tanya satu per satu, maka kita harus lakukan generalisasi.

Bagaimana metode yang tepat agar kita tidak salah dalam melakukan generalisasi tersebut?

Gambar 1. Siklus / Loop Consumer Decision Journey (dari sisi pelanggan)

Consumer decision journey sebenarnya sudah dimulai ketika calon pembeli mengenali masalah atau memiliki suatu kebutuhan (tahap Consider). Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal atau eksternal. Dalam sebuah kasus, rasa lapar, haus, dapat menjadi sebuah pendorong atau pemicu yang menjadi kegiatan pembelian. Dalam beberapa kasus lainnya, kebutuhan juga dapat didorong oleh kebutuhan eksternal, contohnya ketika seseorang mencium sebuah wangi masakan dari dalam rumah makan ia akan merasa lapar atau seseorang menjadi ingin memiliki mobil seperti yang dimiliki tetangganya. Pada tahap ini kita perlu melakukan identifikasi keadaan yang dapat memicu timbulnya kebutuhan konsumen. Para pemasar dapat melakukan penelitian pada konsumen untuk mengidentifikasi rangsangan yang paling sering membangkitkan minat mereka terhadap suatu produk.

Konsumen yang terangsang kebutuhannya akan terdorong untuk mencari informasi yang lebih banyak (tahap Evaluate). Dalam tahap ini, pencarian informasi yang dilakukan oleh konsumen dapat dibagi ke dalam dua level, yaitu situasi pencarian informasi yang lebih ringan, dinamakan dengan penguatan informasi. Pada level ini orang akan mencari serangkaian informasi tentang sebuah produk. Sedangkan pada level selanjutnya, konsumen mungkin akan masuk ke dalam tahap pencarian informasi secara aktif. Mereka akan mencari informasi melalui website, pengalaman orang lain, dan mengunjungi toko untuk mempelajari produk tertentu.  Yang dapat menjadi perhatian pemasar dalam tahap ini adalah bagaimana caranya agar pemasar dapat mengidentifikasi sumber-sumber utama atas informasi yang didapat konsumen dan bagaimana pengaruh sumber tersebut terhadap keputusan pembelian konsumen selanjutnya.

Tahap selanjutnya adalah tahap pembelian (Buy). Sesaat sebelum keputusan membeli, biasanya konsumen akan mengembangkan sebuah keyakinan atas beberapa merek produk dan  persepsi atas tiap merek tersebut berdasarkan masing-masing atributnya. Pada tahapan keputusan pembelian, konsumen dipengaruhi oleh dua faktor utama yang terdapat di antara niat pembelian dan keputusan pembelian yaitu:

  1. Sikap orang lain, yaitu sejauh mana sikap orang lain dapat menambah / mengurangi rasa keinginan seseorang untuk membeli produk. Pertama, intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternatif yang disukai calon konsumen. Kedua, motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain. Semakin  gencar sikap negatif orang lain dan semakin dekat orang lain tersebut dengan konsumen, maka konsumen akan semakin mengubah niat pembeliannya. Keadaan sebaliknya juga berlaku, preferensi pembeli terhadap merek tertentu akan meningkat jika orang yang ia sukai juga sangat menyukai merek yang sama.
  2. Faktor yang kedua adalah faktor situasi yang tidak terantisipasi yang dapat mengurangi niat pembelian konsumen. Contohnya, konsumen mungkin akan kehilangan niat pembeliannya ketika ia kehilangan pekerjaannya atau adanya kebutuhan yang lebih mendesak pada saat yang tidak terduga sebelumnya.

Keputusan konsumen untuk menunda atau menghindari keputusan pembelian sangat dipengaruhi oleh risiko yang dipikirkan, seperti jumlah uang yang akan dikeluarkan, kurangnya kepercayaan diri konsumen untuk melunasi pembayaran (jika produk tersebut dibeli secara cicilan). Dalam hal ini, pemasar harus memahami faktor-faktor yang menimbulkan perasaan dalam diri konsumen akan adanya risiko dan memberikan informasi serta dukungan untuk mengurangi risiko yang dipikirkan konsumen.

Tahap selanjutnya adalah tahap Experience. Setelah membeli produk, konsumen akan mengalami level kepuasan atau ketidakpuasan tertentu. Tugas pemasar tidak berakhir begitu saja ketika produk dibeli. Para pemasar harus memantau kepuasan pasca-pembelian, tindakan pasca-pembelian dan pemakaian produk pasca-pembelian. Kepuasan pembeli merupakan fungsi dari seberapa dekat harapan pembeli atas produk dengan experience sesungguhnya yang dialami pembeli atas produk tersebut. Jika kinerja produk lebih rendah daripada harapan, pembeli akan kecewa. Sebaliknya, jika kinerja produk lebih tinggi dibandingkan harapan konsumen maka pembeli akan merasa puas. Perasaan-perasaan itulah yang akan memutuskan apakah konsumen akan membeli kembali merek yang telah dibelinya dan memutuskan untuk menjadi pelanggan tetap merek tersebut atau mereferensikan merek tersebut kepada orang lain.

Pentingnya kepuasan pasca-pembelian menunjukkan bahwa para penjual harus menyebutkan akan seperti apa kinerja produk yang sebenarnya sebelum mereka membeli produk. Beberapa penjual bahkan menyatakan kinerja yang lebih rendah sehingga konsumen akan mendapatkan kepuasan yang lebih tinggi daripada yang diharapkannya atas produk tersebut. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap produk akan mempengaruhi perilaku konsumen selanjutnya. Jika konsumen merasa puas ia akan menunjukkan kemungkinan yang lebih tinggi untuk membeli kembali produk tersebut (tahap Advocate). Sebaliknya jka konsumen merasa tidak puas, maka ia mungkin tidak akan membeli kembali merek tersebut (lost customer). Bagaimana membuat kondisi yang menghasilkan tak hanya pelanggan yang senang tetapi juga customer advocates yang sebenarnya? Bahkan sampai terjadi Bonding yang luar biasa antara perusahaan dengan pelanggan? Ini akan kita bahas nanti.

Tahap terakhir dari consumer decision journey adalah Tahap Pengikatan (Bond). Cara yang bisa dilakukan adalah membuat komunitas yang dapat menjadi wadah bagi para pelanggan untuk memberikan sumbangsih saran bagi perkembangan perusahaan. Adakan berbagai live event supaya mereka bisa bertukar ide dan belajar satu sama lain. Ini penting bagi pelanggan kunci Anda yang mungkin sangat ingin memberi masukan tentang produk atau solution development atau bahkan arah strategis perusahaan Anda. Tawarkan pelanggan kunci sebuah kesempatan untuk ikut dalam forum eksekutif perusahaan Anda. Meminta pelanggan untuk mengadvokasi produk atau layanan Anda sangatlah berbeda dengan meminta mereka untuk membeli. Jika Anda memahaminya, Anda akan menemukan bahwa pelanggan dapat membantu mengembangkan bisnis Anda dengan cara yang luar biasa.

Sumber: McKinsey.com

Gambar 2. Pengurangan jumlah Merek saat evaluasi secara aktif

McKinsey adalah sebuah perusahan top consulting dunia yang melakukan riset terkait apa yang ada di dalam kepala pelanggan saat mereka ingin membeli suatu produk. Total ada 30.000 orang responden dari 3 benua berbeda yang mengikuti survei ini. Sektor industri yang dijadikan penelitian adalah otomotif, komputer personal, perawatan/kecantikan, telekomunikasi, dan asuransi mobil.  Sebagai contoh kita bisa lihat pada industri otomotif. Bahwa ternyata 63% orang pasti akan membeli salah satu dari merek-merek produk mobil yang ada muncul di dalam kepalanya pertama kali (initial consideration). Misalkan si Tono yang akan membeli mobil. Di dalam kepalanya ada pilihan merek Honda, Toyota, dan Suzuki. Bisa disimpulkan bahwa kemungkinan 63% Tono akan membeli salah satu dari 3 merek mobil tersebut nantinya.

Berbeda dengan si Budi, yang kemungkinannya hanya 30% saja akan membeli salah satu dari beberapa merek mobil yang dijadikan bahan pertimbangan saat tahap active evaluation. Misalkan Budi dengan sengaja mencari informasi di internet, mengunjungi beberapa showroom mobil, bahkan bertanya kepada teman kantornya, mobil apa yang pas untuknya. Ternyata pilihan Budi mengerucut pada 2 merek mobil saja, yaitu Toyota Agya dan Honda Brio karena masalah faktor irit BBM dan harga jual kembali nanti bisa lebih tinggi. Di sini, Budi hanya kemungkinan 30% saja akan membeli salah satu merek mobil nantinya, entah Agya atau Brio.

Berbeda lagi dengan si Andi. Dimana Andi juga ingin beli mobil baru sebab mobil yang lama sering dipakai istrinya. Survei membuktikan bahwa hanya kemungkinan 7% saja si Andi akan membeli mobil dengan merek mobil yang sama dipakai istrinya (loyalty loop).

Jadi, sebenarnya bisa disimpulkan bahwa dalam industri otomotif, merek mobil apa yang ada di dalam kepala orang pertama kali, itulah yang menjadi sumbangsih terbesar arah decision journey yang akan dilaluinya. Ternyata decision journey terbesar bukan karena konsumen aktif mencari informasi, atau karena dahulu pernah pakai merek mobil yang sama, melainkan apa yang ada di dalam kepala pertama kali. Ini kesempatan buat pelaku otomotif untuk lebih memperhatikan branding secara masif ketimbang melakukan program loyalty seperti melakukan trade-in mobil bekas ganti mobil baru dengan merek yang sama. Namun fakta ini sangatlah berbeda dan bertolak belakang untuk produk asuransi mobil dimana konsumen lebih mencari rasa aman saja dengan mengambil asuransi yang sama dengan yang pernah diambil sebelumnya.

Jumlah merek produk yang ada di dalam kepala konsumen saat di tahap initial consideration dibandingkan di tahap active evaluation ternyata bisa berbeda. Misalkan saat si Linda mencari produk skin care untuk menghilatkan jerawat di mukanya. Di awal, dia hanya terpikir 2 merek saja, ternyata saat mencari informasi secara aktif, misal tanya ke teman kantornya atau mencari produk skin care mana yang lagi promo, ternyata pilihan sekarang berkembang jadi 3 merek. Hal ini sejalan dengan riset yang dilakukan McKinsey, bahwa “average number of brands” untuk produk skincare adalah dari 1,5 pada tahap initial consideration naik ke 1,8 pada tahap active evaluation.

“Marketers must move aggressively beyond purely push-style communication and learn to influence consumer-driven touch points”

Gambar 3. Consumer Decision Journey (dari sisi pelanggan dan brand)

Teori yang sudah lama kita kenal seperti AIDA (awareness – interest – desire – action) dan juga teori yang relatif baru semenjak perkembangan dunia digital, seperti AISAS (awareness – interest – search – action – share) sebenarnya lebih melihat journey seseorang dari tidak tahu menjadi tahu dan tertarik, akhirnya membeli produk (dilihat dari sisi pelanggannya saja). Namun tidak mengamati decision journey-nya secara mendalam kaitannya dengan brand produk. Oleh sebab itu, McKinsey melakukan riset mendalam, apa sih yang sebenarnya harus dilakukan oleh pelaku bisnis pada saat calon pelanggan menjalani decision journey-nya? Sedemikian kita lebih efektif dalam menawarkan produk dan meningkatkan kemungkinan closing lebih besar.

Ada 4 tahap decision journey yang bisa kita maksimalkan, di antaranya adalah:

  1. Initial consideration, tahap dimana calon pelanggan mengenal dan mengingat beberapa merek produk dari iklan TV yang mereka lihat, brosur yang mereka terima, iklan radio yang mereka dengarkan, dll. Peran perusahaan di sini untuk meningkatkan initial consideration pelanggan adalah melakukan aktivitas conventional branding secara rutin dan penawaran secara inbound marketing, baik melalui email, sms  broadcast, dll.
  2. Active evaluation, tahap dimana calon pelanggan sedang memiliki kebutuhan dan ingin membeli produk. Beberapa aktivitas yang biasanya dilakukan calon pelanggan adalah mencari informasi di internet, meminta pendapat teman kerja atas beberapa merek produk yang dijadikan pertimbangan. Peran perusahaan di sini adalah memastikan bahwa aktivitas dan imej di dunia digital berjalan dengan baik. Semisal tidak ada komentar negatif pelanggan lain di facebook atau Instagram. Website resmi perusahaan dapat dengan mudah diakses dan tidak memberatkan kuota smartphone calon pelanggan karena konten gambar-gambar begitu besar size-nya, dll.

Gambar 4. Most-influential touch points by stage of consumer decision journey, for competitors and new customers, % of effectiveness

  1. Moment of purchase, tahap dimana calon pelanggan berinteraksi secara langsung dengan perusahaan, baik secara online maupun offline untuk memutuskan merek produk apa yang akan dibeli. Peran perusahaan di sini adalah memastikan bahwa layanan yang diberikan oleh tenaga frontliners sangatlah baik dan memuaskan. Adanya promo in-store yang sudah disiapkan untuk meningkatkan konversi penjualan saat itu juga, dll.
  2. Post-purchase experience, tahap dimana pelanggan mulai menikmati produk yang dibeli, dan menciptakan ekspektasi baru, apakah ke depan akan membeli produk dengan merek yang sama atau berbeda. Jika pelanggan puas, maka kemungkinan akan membeli merek yang sama (ingat: sektor otomotif hanya 7%, sedangkan sektor asuransi bisa 78%, semua tergantung sektor industrinya).

Dari Gambar 4 di atas (hasil survei McKinsey terhadap 30.000 orang responden dari 3 benua dan dari beragam sektor industri), dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan marketing yang paling efektif untuk decision journey calon pelanggan saat masih di tahap initial consideration adalah pendekatan company-driven marketing (tingkat efektif 39%). Namun saat calon pelanggan sudah pada tahap active evaluation, maka yang paling efektif dilakukan adalah consumer-driven marketing (tingkat efektif 37%). Dan pada saat calon pelanggan di tahap keputusan pembelian (closure), maka yang paling efektif dilakukan adalah store-interactions (tingkat efektif 43%).

Masalahnya, kan tidak semua calon pelanggan berada pada tahap yang sama di waktu yang sama? Misal si Tono masih berada di tahap initial consideration, si Budi berada di tahap active evaluation, dan si Andi berada di tahap closure. Lantas kegiatan marketing apa yang perlu diutamakan oleh perusahaan? Kalau terlalu fokus pada satu tahap, maka calon pelanggan yang ada di tahap lainnya tidak bisa digarap dengan baik.

Analisis konversi lead perlu dilakukan di sini!

Misal saat ini, perusahaan kita punya skenario decision journey yang umum terjadi adalah, dari sebuah pameran tunggal di atrium Mall terbesar di suatu kota, kaitannya erat dengan peningkatan jumlah visitor website yang asal IP address-nya dari kota tersebut. Setelah itu, tidak lama kemudian, jumlah pengunjung di showroom / outlet fisik yang ada di kota tersebut jumlahnya juga akan meningkat. Maka kita bisa tentukan rasio konversi lead di sini, misal ada 10.000 pengunjung pameran di Mall, lalu ada peningkatkan 1.000 visitor web dari kota tersebut, dan ada peningkatan 100 calon pelanggan yang datang ke showroom (dilihat pada bulan yang sama, dan dibandingkan dengan bulan sebelumnya agar tidak terjadi bias). Secara mudah bisa kita hitung konversi lead-nya adalah “initial : active : closure = 10.000 : 1.000 : 100”  atau 100 : 10 : 1

Dalam suatu keadaan tertentu, jika rasio konversi tersebut berubah menjadi 100 : 20 : 1 ; yang artinya adalah ada peningkatan dari initial ke active, namun sebaliknya, ada penurunan dari active ke closure. Maka fokus perusahaan adalah memperbaiki konversi dari active ke closure. Strategi marketing yang bisa dilakukan adalah dengan menambahkan banyak review produk di media online dan membuat Gimmick yang menarik agar konsumen mau datang ke store terdekat. Di sisi lain, perusahaan sudah waktunya untuk meningkatkan kualitas & kecepatan layanan frontliners yang ada di showroom. Memberikan beragam in-store promotion menarik agar konversi ke closure menjadi lebih tinggi.

Action Plan yang bisa dilakukan segera:

  1. Prioritize objectives & spending, fokuskan bujet marketing untuk tahapan decision journey yang konversi leads-nya sedang menurun di sana.
  2. Invest in consumer-driven marketing, walau hanya punya tingkat efektif 37%, namun decision journey seorang calon pelanggan akan selalu melewati active evaluation sebelum memutuskan untuk beli.
  3. Win the in-store battle, karena tingkat efektif-nya paling tinggi (43%) untuk mempengaruhi calon pelanggan untuk beli produk, maka peran vital perusahaan adalah saat pelanggan sudah di depan mata (di dalam store/outlet), maka dia harus pulang dengan mengeluarkan dompetnya terlebih dulu. Dengan cara memberikan ragam promosi yang hanya bisa ditemukan / didapatkan di dalam store.

Jika seorang pemasar sudah mampu menganalisis Consumer Decision Journey yang ada di dalam perusahaannya, maka aktivitas marketing akan lebih efektif dan tepat sasaran. Itulah sekilas pemaparan konsep whitepaper berjudul Consumer Decision Journey – seeing the world as customers do. Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai aplikasi konsep ini di perusahaan Anda, segera kontak tim kami di kantor untuk mendapatkan penjelasan lebih detail akan layanan yang ada di SLC MARKETING, INC.!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.

Menu
Share via
Copy link
Powered by Social Snap