Facebook Tag Pixel

Kisruh Blackberry: Daya Beli atau Prestise?

Oleh: Dr. Sandy Wahyudi (DSW).

Economic News & Review - Prestige Copy

Sekilas flashback saat tahun 2012 kemarin di Jakarta. Untungnya kekisruhan antri diskon setengah harga saat launching Blackberry (BB) tipe terbaru tidak sampai memakan korban. Ribuan orang yang sudah antri dari malam harus rela meninggalkan lokasi dengan tangan kosong sebab pihak aparat membubarkan acara.

Strategi penetapan harga yang digunakan RIM selama ini sudah pas untuk Indonesia. Bukan lagi menggunakan skimming pricing seperti penjualan BB berapa tahun lalu, namun dengan penetration pricing sebab sudah banyak smartphone lokal maupun impor yang mematok harga cukup kompetitif. Dengan harapan mendatangkan Wow Effect, RIM sekali lagi juga mau menunjukkan komitmennya bagi masyarakat Indonesia dengan cara peluncuran perdana tipe Onyx 3 bukan di Kanada, Amerika, atau Singapura melainkan di Indonesia sebab market terbesar ada di negeri ini.

Economic News & Review - Onyx 3

Sebenarnya walaupun sudah setengah harga, Onyx 3 jika dibilang murah juga nggak. Dengan bandrol harga 2,3 juta masih jauh lebih mahal dari smartphone lokal yang harganya di bawah 1,5 juta. Walaupun saya juga penggemar dan pemilik BB, namun ironis saat melihat antrian yang nggilani (bahasa jawa: memalukan) di stasiun TV Nasional yang juga mengabarkan bahwa orang yang antri berasal dari beragam etnis dan golongan ekonomi. Bahkan, banyak yang datang dari luar kota, edan tenan.

Menurut saya ada dua tipe orang yang ikut dalam antrian maut itu. Kesatu, adalah orang yang selama ini ingin memiliki BB, namun belum mampu membelinya. Kedua, adalah pemilik BB yang ingin mengganti model baru atau mungkin menambah koleksi BB-nya dengan cara menjadi orang pertama pemilik BB tipe paling anyar di komunitasnya. Berarti ada dua motivasi yang sangat berlainan dalam antrian tersebut, pertama adalah daya beli, kedua adalah prestise.

Keinginan terpendam orang tipe kesatu untuk terhubung terus dengan komunitasnya, mungkin juga sudah saking seringnya mendengar pertanyaan “berapa PIN BB-mu?” membuatnya rela antri di bawah terik matahari selam berjam-jam. Daya beli yang tidak terlalu tinggi, yang diindikasikan dengan keinginan membeli produk kualitas terbaik dengan harga serendahnya, sangat nampak dalam antrian tersebut. Jika dipikir lagi, sebenarnya dengan uang 2,3 jutaan mereka sudah tidak perlu antri, sebab cukup datang ke counter HP terdekat, kemudian sudah dapat membawa pulang BB dengan tipe yang lebih rendah. Namun, nyatanya karena mereka merasa akan mendapat benefit yang besar, yakni 2x lipat harga jual, maka rela antri seperti orang kere.

Berbeda dengan tipe orang kedua yang sengaja antri demi motivasi prestise. Bukan karena daya belinya rendah, namun karena kurang kerjaan alias nganggur, sehingga rela antri untuk gengsi menenteng BB terbaru untuk dipamerkan ke teman-temannya. Orang-orang tipe ini dalam istilah pemasaran disebut sebagai innovator customer, sukanya mencoba dan membeli produk terbaru. Andaikan tidak ada potongan setengah harga, tipe orang kedua ini tetap akan membelinya. Perusahaan akan sangat diuntungkan bila semua pelanggannya masuk ke dalam tipe kedua.

Suatu kontradiksi yang lazim terjadi dalam dunia pemasaran, yakni mau cepat laku atau cepat untung? Dengan diskon harga, produk akan lebih cepat laku dan dikenal di pasaran, namun untuk jangka panjang, hal ini akan merugikan sebab perusahaan akan kesulitan untuk menaikkan harga jual di kala semua bahan baku produksi melambung harganya. Sebaliknya, harga jual yang cenderung stabil tidak mampu membuat gimmick yang menarik orang untuk datang. Akibatnya, walaupun laba per unit masih tinggi, namun omset dan profit keseluruhan malah kecil. Para pemasar sebenarnya tinggal memilih strategi penetapan harga yang pas, apakah produk yang di-launch tersebut akan memiliki product life cycle (PLC) yang cepat atau lama, seberapa banyak kompetitor yang ada, ditujukan ke siapakah produk tersebut, dan channel seperti apa yang digunakan perusahaan.

Jika suatu produk memang sengaja didesain dengan PLC yang cepat, maka pricing strategy yang dapat diterapkan adalah penetration pricing, artinya harga yang ditawarkan relatif lebih rendah dari harga produk sejenis di industrinya. Harapannya adalah konsumen baik tipe kesatu atau kedua mau berpindah hati dari merek lain untuk membeli produk tersebut. Rata-rata produk teknologi seperti HP, komputer, memiliki PLC sekitar 18 bulan saja. Artinya, dalam 18 bulan ke depan akan ada produk generasi selanjutnya. Ini dapat kita lihat pada produk Apple yang tiap tahun mengeluarkan produk anyar. Sebaliknya, strategi skimming pricing dapat diterapkan untuk produk yang PLC-nya lebih lama.

Semakin banyak kompetitor, maka strategi yang dapat diterapkan adalah competitor-based pricing, artinya harga jual ditentukan dari harga yang berlaku di pasaran, jadi bukan ditentukan dari biaya pembuatan dan distribusi produk. Strategi harga jual juga ditentukan oleh segmen pasar yang dilayani. Jika produk memang ditujukan untuk middle-up segment, maka harga jual dapat mengacu pada kompetitor yang segmen pasarnya sama. Begitupula sebaliknya.

Yang terakhir dari strategi harga jual adalah ditentukan oleh channel yang digunakan perusahaan. Strategi standardized pricing dapat digunakan apabila perusahaan menggunakan sistem penjualan terpusat, artinya stok barang dan harga jual dikontrol secara ketat dari kantor pusat. Channel hanya berfungsi sebagai agen penjualan saja. Hal ini menguntungkan sebab tidak terjadi perang harga antar agen, namun juga merugikan agen karena profit margin yang diperoleh semakin kecil. Sebaliknya, strategi flexible pricing dapat diterapkan apabila perusahaan menganggap channel sebagai reseller sehingga memungkinkan untuk membuat promo mandiri berupa diskon, dll untuk menarik pembeli.

Kembali ke topik pembicaraan kita, yakni daya beli atau prestise. Strategi penetapan harga sangat berkaitan erat dengan dua hal tersebut. Jika memang RIM ingin terus menjadi market share leader untuk kategori smartphone, maka pertimbangan yang paling penting adalah daya beli masyarakat. Namun jika brand yang ingin dikembangkan, maka prestise pembeli yang harus dipikirkan saat menetapkan harga jual. Jadi, jika tidak mau terjadi kisruh lagi sebab antrian panjang pasti membuat jalanan macet dan pekerjaan banyak nggak selesai karena banyak yang cuti kerja, maka sebaiknya RIM menentukan dulu strategi penetapan harganya sebelum kampanye lagi.

Share Via:

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn
Banner Vertical 600x840 Podcast

Artikel Lainnya:

Storytelling Adalah Koentji – Memenangkan Hati Audiens di Era Digital

Investasi Terbesar! Bangun Tim Yang Solid untuk Bisnis Keluarga Anda Melesat Tajam

Rahasia Sukses Marketing di Era Modern