Daya beli masyarakat menurun akibat Pandemi Corona. Menurunnya daya beli masyarakat akibat pemotongan gaji ataupun pemutusan hubungan kerja secara efektif membuat banyak kekosongan pada pasar. Kekosongan ini terjadi akibat berpindahnya preferensi dan prioritas pasar menuju price oriented yang membuat usang asumsi lama dalam segmentasi, terutama pada industri barang sekunder dan tersier. Maka, expected market share akan menyusut secara massif yang mana juga akan secara langsung berpengaruh signifikan ke income dan cashflow perusahaan.
Celakanya nih… Banyak perusahaan yang merespon dengan menurunkan atau memotong harga jual mereka untuk menyesuaikan daya beli masyarakat yan g menurun dengan asumsi “yang penting ada sumber pemasukan dulu”. Logika ini tidak sepenuhnya salah, karena kalau tidak ada pemasukan sama sekali, bagaimana bisa survive? Tapi, mau berapa lama anda mengorbankan profit? Seberapa lama tabungan anda bisa cover biaya operasional? ila semua kompetitor anda melakukaan hal yang sama – melakukan potong harga, bagaimana anda harus bersikap? Anda sudah tidak punya anggaran lebih untuk berinovasi karena semua permasukan sudah diserap biaya operasional.
Study yang dirilis dalam artikel Harvard Business Review edisi 2012 mengatakan, manager cenderung memilih untuk langsung memberikan potongan harga karena adanya asumsi bahwa potongan harga adalah solusi cepat, mudah dan reversible (bisa di-undo)
ogika bahwa pemotongan harga adalah solusi cepat dan mudah bisa menyesatkan. Mengutip kalimat Mark E. Bergen, seorang associate professor dari Carlson’s School of Business & Management:
“Price cut does give a considerable short sales boost, but at what cost? Price cut takes up profit margin and company’s options to respond. Thus limiting the ability to anticipate further events such as competitor’s retaliation, market fluctuation, force majeur, etc.”
Maka bisa kita simpulkan bahwa efek negatif pemotongan harga masih bisa berlanjut dan menjadi lingkaran setan – snowball effect, bukan menjadi solusi cepat, dan mudah, apalagi reversible.
Lalu gimana caranya menang Price War tanpa memotong harga?
Sun Tzu pernah bilang melalui bukunya…
“The supreme art of war is to subdue an enemy without fighting” (Seni perang tertinggi adalah menaklukkan musuh TANPA berperang). Artinya, kita sebisa mungkin menghindari konfrontasi menggunakan pemotongan harga secara langsung.
Price Related Responses
- Selective/Complex Pricing
Buat customer anda tergiur dengan harga baru yang lebih rendah tanpa mengurangi kualitas atau layanan yang ditawarkan. TAPI, Ada syaratnya, dan buat sebanyak mungkin syarat tersebut. Cukup simple untuk membuat orang tergiur tapi cukup rumit sehingga tidak semua orang bisa meng-klaim harga special itu. Maka, meminimalisir loss pada profit margin Anda. - Flanking Pricing
Buat produk atau jasa baru untuk menyaingi harga competitor. Hal kunci untuk diperhatikan adalah produk baru ini memang didesain untuk bersaing di level harga tersebut. Bukan menggunakan produk lama dengan cost structure yang lebih tinggi. Maka profitability masih bisa terjaga.
Non-price Responses
- Quality Competition
Tunjukkan bahwa harga anda merefleksikan kualitas premium yang tidak mampu dicapai competitor yang sedang potong harga. Tunjukkan juga bahwa dengan membeli barang yang lebih murah, ada indikasi pemindahan resiko dari produsen menuju customer yang tidak terang terangan diinformasikan oleh produsen terkait. - Use Cost-advantage
Gunakan kelebihan atau allowance pada cost-structure anda untuk mejalin partnership dengan pihak ketiga. Tujuannya adalah memberikan nilai lebih dengan harga yang sama. Selain itu anda juga bisa membuat “jarring-jaring pengaman” untuk bisnis anda dengan melebarkan networking.
Terimakasih sudah membaca whitepaper kami terkait “Surviving The Impossible: PRICE WAR”. Masih banyak judul & kategori lain seputar dunia marketing yang bisa Anda akses di website kami. Apabila ada pertanyaan, Anda bisa menghubungi kami di http://wa.me/6287854234504
Sukses bersama SLC MARKETING, INC.