Oleh:
Bagas Pranowo Handonowarih
Business Analyst, Specialized in People Development
SLC MARKETING, INC.
Judul artikel kali ini kurang lebih mewakili tren yang sedang melanda dunia bisnis dewasa ini. Berkembangnya teknologi secara pesat membuat semua pemilik bisnis seakan berlomba-lomba untuk mengadopsi teknologi terbaru guna mendongkrak kinerja bisnis mereka. Seringkali kita mendengar berita tentang perusahaan-perusahaan pendobrak yang dengan teknologi mutakhirnya mampu mengancam perusahaan yang sudah berpuluh-puluh tahun beroperasi dan mencetak laba miliaran rupiah hanya dalam hitungan tahunan. Seringkali kita membandingkan antara taksi online yang saat ini sedang naik daun industrinya dengan taksi konvensional yang mulai terancam eksistensinya. Teknologi menjadi kata ajaib yang seolah-olah akan merubah perusahaan yang biasa-biasa saja menjadi perusahaan luar biasa dalam sekejap.
Faktanya, benarkah demikian? Rupanya cerita yang benar-benar berbeda disampaikan oleh perusahaan-perusahaan besar dunia yang hingga kini masih eksis, setelah puluhan tahun beroperasi, ditengah persaingan yang kian ketat dan gempuran kemajuan teknologi. Perusahaan-perusahaan seperti Abbott, Gillette, Kimberly-Clark, dan Philip Morris. Yang bukan hanya eksis, melainkan juga berjaya di industrinya.
Dalam bukunya Good To Great, Jim Collin menyampaikan bahwa perusahaan yang mampu bergerak dari perusahaan yang “bagus” saja atau sekedar eksis, menjadi perusahaan yang “hebat”, menjadi yang terbaik di industrinya dan mencetak kenaikan nilai saham yang fantastis tidak tergantung pada keberhasilan untuk mengadopsi teknologi semata. Ketika eksekutif-eksekutif dari perusahaan “bagus-ke-hebat” diminta menyebutkan lima faktor teratas dalam pergeseran dari bagus ke hebat, secara mengejutkan teknologi tidak atau jarang sekali muncul sebagai salah satu dari lima faktor teratas dalam pergeseran perusahaan dari sekedar bagus menjadi perusahaan hebat. Menurut Ken Iverson, “faktor-faktor utama (dalam transisi) adalah konsistensi perusahaan dan kemampuan kami untuk memproyeksikan filosofi perusahaan dan kemampuan kami untuk memproyeksikan filosofi perusahaan ke sekujur tubuh organisasi, yang dimungkinkan oleh sedikitnya lapisan dan birokrasi kami.”
Begitu juga yang diungkapkan oleh Dan Jorndt, CEO Walgreens, kepada Forbes ketika Walgreens, dihantam oleh drugstore.com, perusahaan obat-obatan yang berbasis media online, ”Kami adalah perusahaan yang merangkak, berjalan, baru lari.” Dengan kata lain, Walgreens tidak menjadi reaktif pada perkembangan teknologi, tidak serta-merta mengadopsi teknologi mutakhir, melainkan berpikir terlebih dahulu.
Berpikir, bagaimana teknologi mutakhir ini dapat membantu Walgreens mencapai visi mereka, yakni menyediakan kenyamanan konsumen sehingga laba per kunjungan konsumen mereka bisa semakin meningkat? Ternyata, setelah melakukan berbagai eksperimen kecil, melakukan diskusi-diskusi internal secara intens, dan menemukan cara memanfaatkan teknologi internet untuk mewujudkan visi mereka, Walgreens memanfaatkan internet untuk membuat setiap outletnya di Amerika menjadi apotek lokal bagi konsumennya. Konsumen yang tinggal di New York, bisa dengan mudah menebus resepnya di Florida berkat sistem jaringan Intercom yang menghubungkan seluruh database cabang Walgreens kepada kantor pusat.
Mungkin ini terkesan biasa saja bagi kita di zaman sekarang. Sekarang juga banyak perusahaan yang menerapkan hal itu, bahkan hampir semua perusahaan besar memiliki sistem pemesanan melalui online. Namun bayangkan jika teknologi seperti ini ada di tahun 1970-an dimana tidak semua orang memiliki pc (personal computer). Tidak semua orang memahami teknologi online, dan tidak semua konsumen terkoneksi dengan internet.
Menjadi yang pertama (be the first) memang memiliki keunggulan dalam hal menciptakan market baru dan memperkuat brand equity di mata konsumen. Namun teknologi mutakhir bukanlah sebagai pencipta momentum pergeseran perusahaan dari bagus ke hebat, melainkan hanya sebagai akselerator. Sama seperti bensin yang hanya berperan sebagai akselerator pembakaran, bukan merupakan pemicu. Pemicunya tetap adalah percikan api yang menyambar bensin tersebut.
Memicu kemajuan dimulai dari diri pemilik perusahaan, dimana ada visi untuk menjadi yang terbaik di dunia dalam bidang yang dia selalu semangat untuk menjalani, di mana bidang tersebut dapat menghasilkan laba yang berkelanjutan. Visi inilah yang akhirnya diwujudkan melalui orang-orang yang tepat yang memiliki disiplin untuk menjaga passion dan visi tersebut dalam perusahaan. Jadi, bagi Anda pemilik perusahaan yang menghadapi beragam berita tentang kemajuan teknologi dan dampaknya terhadap bisnis, hadapilah dengan tenang. Diskusikan dengan karyawan Anda, bagaimana cara menerapkan teknologi ini untuk mewujudkan visi awal perusahaan. Rumus sederhana untuk menentukan visi Anda adalah:
(1) Bidang apa yang Anda bisa menjadi yang terbaik di dunia
(2) Bidang apa yang Anda selalu bersemangat dalam mengerjakannya
(3) Bidang yang menjadi profit centre dalam perusahaan Anda.
Tentunya sumber eksternal selalu dapat menjadi second opinion bagi Anda dalam mengidentifikasi faktor-faktor tersebut. Dalam hal ini, tim konsultan SLC MARKETING, INC. siap membantu Anda dalam mengidentifikasi kekuatan tim Anda dan merekomendasikan teknologi yang tepat untuk memaksimalkan kekuatan tersebut.