Bagaimana upaya meningkatkan kualitas layanan terhadap pelanggan B2B melalui transformasi layanan dengan melibatkan peran digital
By:
Dr. Sandy Wahyudi (DSW)
Pakar & Praktisi Marketing dan Inovasi
Business Development Director SLC MARKETING, INC.
Banyak artikel yang membahas bagaimana menciptakan customer-centric organization dengan fokus utama yang ditujukan pada kepuasan pelanggan ritel (end-user), jadi lebih bersifat pada aspek B2C (business to consumer) saja, padahal yang tidak kalah penting adalah menjaga kepuasan pelanggan B2B-nya. Sebagai contoh, sebuah pabrik snack / makanan ringan yang membuat produk dimana produk itu dibuat dengan kualitas yang sangat tinggi dan tentunya harga jualnya pasti tidaklah murah. Jika fokus utamanya adalah kepuasan para end-user, maka pabrik snack ini hanya berpikir bagaimana agar end-user mampu membelinya, namun tidak terlalu memikirkan apakah para distribution channel ini mampu menjualnya. Akibatnya, banyak produk yang gagal dipasarkan bukan karena tidak disukai masyarakat, melainkan karena tidak terlalu menguntungkan bagi para pelaku B2B.
Edisi whitepaper kali ini akan membahas topik yang mungkin jarang diangkat ke permukaan, yaitu bagaimana memperlakukan pelanggan B2B tidak hanya dari sisi harga dan kualitas produk saja, melainkan juga dari sisi kepuasan layanan. Sering sekali para pelaku B2B selalu mengeluh bahwa “asalkan saya punya barang dengan harga yang murah, maka tidak peduli kualitas barang dan layanan yang saya berikan, mereka pasti beli”. Mungkin ada benarnya jika ternyata pelanggan B2B yang di-supply tersebut juga memperlakukan para pelanggan end-user nya dengan cara demikian.
Ada sebuah pabrik pembuat deterjen yang men-supply secara B2B ke perusahaan-perusahaan laundry. Jika semua perusahaan laundry ini mempunyai segmen pelanggan end-user yang juga hanya mencari murahnya (bahkan harga laundry yang harus dibayar oleh end-user adalah per Kg cucian), terlebih lagi perusahaan laundry ini juga tidak memberikan garansi ke end-user jika nantinya bahan kain yang dicuci ada yang rusak. Maka bisa dipastikan kalau perusahaan laundry ini juga akan mencari deterjen yang paling murah dari pabrik pembuatnya, asalkan bisa membersihkan kotoran di baju sudah cukup, tidak peduli dengan kualitas. Hal ini tentu berbeda jika perusahaan laundry yang di-supply adalah premium laundry yang memberikan garansi ke para end-user nya. Tentunya selain masalah harga, yang lebih penting adalah kualitas produk deterjen yang aman untuk dipakai, tidak merusak bahan kain, sedemikian resiko untuk ganti rugi ke end-user tidak akan muncul nantinya.
Jadi, konteks diskusi kita memang akan lebih cocok jika yang dimaksud dengan pelaku B2B disini adalah para pemasok dan pelanggan B2B yang peduli dengan kualitas produk dan kualitas layanan, selain tentunya masalah harga yang harus diperhatikan agar tetap kompetitif. Harga mahal atau murah sebenarnya sangat relatif ukurannya, dan biasanya tergantung pada customer experience yang akan diberikan. Beberapa perusahaan di Surabaya yang kami bantu sering melakukan impor mesin dari China, mereka mengatakan bahwa mesin-mesin dari China memang sangat murah, tapi mereka juga sudah tahu konsekuensinya, bahwa jika ada kerusakan mesin, maka sifatnya ada additional cost yang harus dibayarkan untuk reparasi, sebab harga mesin tersebut hanya kosongan saja sifatnya, tidak ada garansi after sales service. Ternyata setelah dihitung-hitung, sebenarnya juga tidak bisa dibilang murah kalau ternyata sampai ada kerusakan mesin. Oleh sebab itu, saya katakan bahwa masalah harga adalah relatif ukurannya.
Kunci pembahasan whitepaper kali ini adalah pada penciptaan Customer Experience, bagaimana aspek kualitas layanan bisa semakin dirasakan pelanggan B2B, namun tidak menjadi tambahan beban cost yang harus ditanggung oleh mereka, sedemikian harga produk tetap bisa kompetitif. Tentu saja peran teknologi sangat dibutuhkan untuk mewujudkannya, sebab dengan adanya teknologi maka pengurangan tenaga SDM bisa dikurangi. Namun sebelum ke sana, ada baiknya kita kupas satu demi satu langkah mewujudkan customer experience yang kaitannya bukan dengan teknologi.
UNDERSTANDING COMPLEX EXPERIENCE OF B2B CUSTOMER
Pada dasarnya, pelanggan B2B memiliki pola pembelian yang lebih kompleks daripada bisnis yang berfokus pada pelanggan ritel (B2C). Memang, perusahaan B2B memerlukan strategi spesifik untuk membedakan dirinya sendiri dibandingkan kompetitor melalui customer experience yang tepat. Perusahaan B2B sering memiliki lebih banyak macam penawaran dan layanan daripada perusahaan B2C. Proposal penawaran produk juga sangat disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan (tailor-made) dan seringkali terdiri dari berbagai produk dan layanan yang digabungkan (bundling products and services).
Perjalanan pelanggan B2B (customer journey) sebelum memutuskan untuk beli atau tidak juga cenderung panjang, kompleks, dan cukup teknis, terdiri dari interaksi terus menerus di setiap sales touch points yang sudah kita rancang maupun yang belum terpikirkan oleh kita. Customer journey experience sering terfragmentasi oleh banyak variasi kebutuhan antar departemen dan lokasi cabang yang ada di perusahaan mereka, sedemikian keputusan pembelian (decision making) juga melibatkan banyak tim di berbagai departemen yang ada di perusahaan klien.
Sebagai contoh, customer journey pelanggan B2B dalam mendapatkan pembiayaan ekspor dari suatu lembaga keuangan, ternyata lembaga keuangan tersebut harus melibatkan empat organisasi, yaitu lembaga keuangan itu sendiri, perusahaan importir di negara tujuan, perusahaan eksportir yang hendak melakukan peminjaman dana, serta perusahaan asuransi ekspor-impor. Customer journey untuk klien tersebut biasanya membutuhkan satu setengah sampai dua tahun untuk menyelesaikan seluruh dokumen-dokumen, hal ini terjadi karena banyak sekali komponen teknis yang sering harus didesain ulang dalam kontrak karena adanya perubahan regulasi ekspor-impor yang berbeda antar dua negara yang terlibat.
Kompleksnya unsur teknis yang ada dalam proses pembiayaan ekspor ini adalah biasanya terkait data keuangan yang harus terperinci, serta proses risk assessment yang mendalam. Oleh karena itu, lembaga keuangan ini akhirnya harus memasukkan seorang pengacara dan analis keuangan ke dalam tim customer experience journey untuk memastikan cukupnya keahlian teknis untuk menangani elemen-elemen ini jika calon pelanggan B2B tersebut memiliki pertanyaan seputar pembiayaan ekspor.
B2B CUSTOMER MAPPING
Untuk menciptakan customer experience yang baik dan memorable bagi calon pelanggan B2B, memang awalnya harus dipertimbangkan beragam skenario yang akan terjadi, siapa saja pihak yang terlibat, siapa saja pengambil keputusan di fase awal, tengah, dan akhir, siapa saja orang berpengaruh di dalam perusahaan klien yang harus di-follow up dan di-maintenance agar hubungan baik bisa tercipta. Misalnya saja, ada seorang produsen lift / elevator yang hendak memasok lift ke gedung perkantoran atau kompleks apartemen yang baru akan dibangun. Proposal penawaran memang biasanya dinegosiasikan oleh tim manajemen fasilitas bangunan, dan produsen lift ini mengerti dengan baik apa yang bisa memuaskan orang-orang ini (tidak menutup kemungkinan kesepakatan under-table biasanya juga terjadi).
Pada awalnya produsen lift tersebut mengabaikan dua kelompok pelanggan utama lainnya yang punya peran penting, yaitu kepala asosiasi pengembang apartemen, yang ternyata menjadi benchmark dan influencer kuat bagi para pengembang apartemen dalam keputusan pembelian lift. Terlebih lagi, kelompok pelanggan end-user, yaitu para pengguna sebenarnya dari lift, baik para penghuni maupun pegawai kantor yang mengalami fungsi kinerja lift setiap harinya. Keluhan mereka biasanya hanya berakhir di meja manajemen fasilitas bangunan. Memang kalau dilihat keputusan akhir ada di tangan manajemen fasilitas bangunan, namun ternyata peran influencer (kepala asosiasi) dan peran end-user (penghuni / pegawai kantor) juga mempengaruhi sekali keputusan yang hendak diambil.
Oleh sebab itu, produsen lift ini mulai memetakan keseluruhan customer experience dari semua stakeholder yang terkait, dan mulai melacak kepuasan / keluhan pelanggan untuk masing-masing kelompok ini secara terpisah, untuk menemukan wawasan baru tentang bagaimana meningkatkan kepuasan para key stakeholder terkait penggunaan lift. Pengambilan data kepuasan pelanggan bisa dilakukan dengan aplikasi teknologi seperti Google Form, Survey Monkey, Katakita, dll. Dari hasil survei tersebut baru bisa diolah menjadi sebuah bahan proposal presentasi kepada manajemen fasilitas bangunan apartemen (calon pelanggan B2B), bahwa produsen lift ini bukan sekedar menjual lift, melainkan menjual benefit yang dibutuhkan oleh para end-user dan para stakeholder lain yang terkait. Dengan cara demikian, diferensiasi produsen lift ini dibandingkan kompetitor lainnya bisa langsung dirasakan, sebab produsen lift ini mampu menyajikan customer mapping yang akurat.
DIGITIZING CUSTOMER JOURNEY
Upaya melakukan digitalisasi terhadap layanan pelanggan seringkali tidak menjadi fokus utama perusahaan pelaku B2B, sebab dianggap tidak worthed dengan investasi yang harus dikeluarkan. Aplikasi konsep seperti self-service, online interface dan automated-decision rules memang terlihat mahal di awal pembangunan infrastruktur digitalnya, namun jika di-kalkulasi untuk jangka panjang, investasi ini jauh lebih murah ketimbang penggunaan tenaga manusia secara berlebihan. Pemerintahan Kota Surabaya sanggup mewujudkan layanan terpadu satu atap untuk semua perijinan usaha dengan cara berbasis online, melalui SSW (Surabaya Single Window). Apabila dahulu untuk perijinan SIUP dan TDP saja bisa berbulan-bulan lama prosesnya, belum lagi biaya calo dan under-table agar antrian layanan dipercepat, namun untuk sekarang, proses perijinan semua dilakukan secara online dari rumah/kantor kita masing-masing, tidak perlu antri dan tidak dipungut biaya satu sen pun, proses pengerjaan kalau dokumen yang kita upload semua sudah lengkap, maka hanya dibutuhkan maksimal 3 hari kerja saja, nantinya semua surat perijinan yang kita perlukan bisa diambil di kantor kecamatan tempat domisili kita berada jika sudah selesai. Saya sendiri pernah melakukan perpanjangan SIUP & TDP melalui SSW online, dan memang benar hanya dibutuhkan 1×24 jam saja saya sudah bisa ambil di kantor kecamatan.
Perusahaan otomotif seperti Suzuki juga melakukan hal yang sama, tahun 2012 lalu saat saya belikan istri saya mobil Suzuki Ertiga, saya harus melakukan inden dan membayar uang muka. Setelah itu saya mendapatkan nomor ID dari sales yang melayani. Nomor ID tersebut jika saya masukkan ke dalam URL website yang diberikan, maka saya bisa tahu proses apa yang terjadi dan sedang dimana lokasi posisi mobil yang saya pesan, dari proses produksi di India, pengiriman komponen setengah jadi ke Jakarta dan perakitan unit mobil di Jakarta, hingga pengiriman ke showroom tempat saya membelinya di Surabaya. Inilah senjata yang dipakai Suzuki untuk mengalahkan Toyota Avanza yang sudah sangat kuat saat itu, sedemikian pada tahun 2013 Suzuki Ertiga berhasil meraih penghargaan The Car of The Year dari beberapa institusi bergensi.
Kedua contoh di atas adalah upaya digitalisasi yang dilakukan pemerintahan dan perusahaan otomotif yang fokusnya pada kebutuhan masyarakat dan konsumen ritel, bagaimana dengan pelaku B2B ? Bagi perusahaan B2B yang memasok kebutuhan bahan baku ke produsen besar yang sudah menerapkan Just-in-Time atau Lean Management, seperti Toyota, Hyundai, dll maka hukumnya adalah wajib bila para supplier harus ikut aturan main mereka, dimana kita tidak bisa mengirimkan barang dalam jumlah besar sekaligus, melainkan mengirimkan secukupnya sesuai kebutuhan produksi perusahaan tersebut.
Hal ini pula yang diterapkan oleh Indomarco yang men-supply kebutuhan seluruh cabang Indomart. Tidak perlu seorang kepala cabang Indomart menelepon gudang penyimpanan Indomarco untuk meminta sejumlah barang yang habis stoknya, karena secara otomatis dan realtime pihak Indomarco bisa menarik data buffer stock barang yang sudah menipis secara online di masing-masing cabang. Dengan cara ini, pemilik franchise Indomart tetap bisa happy karena tidak kehilangan omset saat ada konsumen end-user yang datang ke outlet nya untuk membeli barang yang diinginkan namun ternyata tidak ada stoknya.
Sebagai contoh terakhir, berikut adalah kasus sebuah perbankan yang cukup besar dan fokus pada corporate loan atau peminjaman modal kerja. Jelas bahwa segmen pelanggannya adalah bukan konsumen perbankan ritel (masyarakat), melainkan adalah segmen bisnis yang harus dilayani secara B2B, bagaimana transformasi customer experience yang dilakukan bank ini dengan meningkatkan standar kualitas layanan yang diberikan. Awal mula di bank ini butuh tiga sampai empat bulan untuk menyelesaikan persetujuan pinjaman modal kerja, sementara praktek terbaik di industri perbankan lainnya adalah rata-rata di angka lima minggu saja. Selama proses administrasi berjalan, tidak ada seorang pun karyawan di bank yang bisa memberi tahu klien tentang status aplikasi pinjaman atau apa yang diharapkan untuk langkah selanjutnya. Bagian karyawan back-office sendiri tidak merasa bertanggung jawab atas customer experience, di sisi lain, bagian Credit Officer yang berhadapan langsung dengan klien juga tidak bisa memberi tahu ke kliennya sampai mana proses administrasinya karena di bank ini ternyata berlaku silo-organization, semua departemen punya egonya masing-masing dan tidak mau bekerjasama layaknya sebuah tim.
Memang dari dulu sudah diberlakukan sistem FIFO atau first-in first-out atau aplikasi yang masuk duluan harus diselesaikan duluan. Namun yang namanya peminjaman modal kerja yang jumlahnya ratusan juta hingga milyaran pastinya ada dokumen-dokumen yang harus diverifikasi oleh masing-masing departemen terkait yang ada di dalam bank ini. Akhirnya untuk sebagian besar kasus, aplikasi pinjaman modal yang dibutuhkan klien tidak lebih dari setumpukan berkas dokumen yang pindah dari meja ke meja lintas departemen yang akan memprosesnya. Untuk mereformasi prosesnya, bank ini memulai dengan membuat customer journey lebih transparan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, menjadi jelas untuk pertama kalinya bagi banyak tim departemen yang berpartisipasi, seperti bagian legal, pembayaran kredit, dan risk assessment, dimana proses kerja internal dibuat lebih transparan dengan melibatkan peran IT, yaitu bagaimana pekerjaan mereka saling terkait pada keseluruhan customer journey dan membuat saling-tahu rekan mana yang bertanggung jawab atas bagian lain dari perjalanan ini.
Secara eksternal atau bagi klien, akhirnya bank ini menciptakan “Journey Guide“ yang menjelaskan proses aplikasi pinjaman modal kerja, dengan langkah sederhana dan tervisualisasikan, dari proses awal aplikasi hingga proses disetujui, sampai pencairan dana dilakukan. Selanjutnya, setiap kali ada klien yang mengajukan aplikasi, maka bank ini segera membuat sel kerja end-to-end yang terdiri dari manajer dari setiap departemen yang didedikasikan untuk permohonan aplikasi tersebut. Dalam kick–off bersama dengan seluruh sel kerja, seorang Account Manager akan menyusun kebutuhan masing-masing klien, menetapkan deadline untuk setiap langkah dalam customer journey, yang bisa di-posting secara online di aplikasi fitur IT tersebut, sedemikian setiap pihak departemen yang terlibat dapat saling memantau progress satu sama lain. Hal ini memungkinkan akuntabilitas dan kesepakatan deadline yang sudah disetujui tidak mundur dari jadwal, misalnya, bagian legal department punya waktu selama dua minggu dari tanggal penyerahan dokumen yang dilakukan klien.
Account Manager juga bertanggung-jawab penuh untuk mengatur perjalanan aplikasi dan memantau key performance indicator di akhir perjalanan aplikasi. Selain itu, Account Manager juga bertanggung jawab untuk membimbing klien melalui keseluruhan perjalanan, sehingga klien merasa dilayani oleh satu orang yang sama dari awal hingga akhir, dan tidak lagi merasa di-ping pong dari satu departemen ke departemen lainnya. Credit Officer juga dilibatkan dengan cara diberikan akses online ke pipeline dashboard untuk melacak perjalanan aplikasi pinjaman modal kerja dan memantau status masing-masing klien, sudah sampai dimana proses administrasinya.
Akhirnya hasil yang mengesankan pun terjadi. Apabila dahulu seorang Credit Officer hanya mampu menghabiskan 30 persen waktu mereka untuk bertatap muka / berinteraksi secara langsung dengan klien, sekarang mereka dapat meningkatkannya menjadi sebanyak 65 persen karena mereka tidak perlu lagi mengejar-ngejar rekan sekerja mereka di departemen lain untuk sekedar menanyakan status administrasi aplikasinya karena semua bisa dilihat secara online dan realtime. Dengan cara ini, kepuasan pelanggan pun semakin meningkat, dan customer experience dirasakan lebih baik dibandingkan proses kerja yang ada sebelumnya. Itulah sekilas pemaparan konsep whitepaper berjudul Transforming the B2B Customer Experience through Digital Operations. Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai aplikasi konsep ini di perusahaan Anda, segera tim kami di kantor untuk mendapatkan penjelasan lebih detail akan layanan yang ada di SLC MARKETING, INC.!