Di tengah persaingan bisnis kota Surabaya yang serba cepat, muncul aroma yang menantang kemapanan: kopi keliling. Bukan lagi sekadar tren pinggiran, gerobak-gerobak kopi ini kini menjadi pemandangan lazim, menyapa para pejalan kaki hingga karyawan kantoran. Mereka bergerak, mereka ada di mana-mana.

Pernah dengar Teori Hotelling? Katanya, semua penjual yang serupa bakal ‘nongkrong’ di tengah biar gampang dijangkau. Tapi, lihatlah kopi keliling! Mereka justru bergerilya, mendekatimu, bukan menunggumu datang. Apakah teori lama ini sudah kedaluwarsa di era kita yang serba mobile?

Mengapa gerobak kopi ini justru makin digandrungi, bahkan di kota sebesar Surabaya yang penuh kafe mewah? Apakah ini sekadar soal harga yang lebih ramah di kantong, atau ada kekuatan tersembunyi dalam mobilitas dan fleksibilitas mereka?

Kopi keliling bukan hanya soal menjual cairan berkafein. Ini tentang membaca denyut nadi kota, tentang hadir di saat yang tepat, di tempat yang tepat. Mereka adalah representasi usaha kecil yang lincah, yang tak terpaku pada satu titik. Mereka membuktikan: kadang, bergerak itu jauh lebih strategis daripada diam menunggu.

Bayangkan: Anda terburu-buru, butuh caffeine boost segera. Mana yang lebih mungkin Anda sambangi? Kafe yang entah di mana, atau gerobak kopi yang sudah menunggu di seberang jalan? Kopi keliling memahami insting itu.

Apakah ini akhir dari dominasi lokasi statis dalam bisnis ritel? Apakah kita sedang menyaksikan evolusi di mana kemudahan akses dan kecepatan menjadi mata uang baru?

Whitepaper ini akan mengupas tuntas fenomena kopi keliling ini. Kita akan mengungkap alasan di balik kesuksesan mereka, menantang teori-teori ekonomi konvensional yang mungkin sudah tak relevan, dan meramalkan masa depan bisnis yang mengandalkan mobilitas.

Penasaran mengapa gerobak kopi ini lebih ‘menggigit’ daripada teori ekonomi yang kaku?

Segera unduh versi lengkap dan temukan jawabannya!